Spritual Dalam Islam dan Faham Muhammadiyah

LANDASAN TEORITIS

  1. Pengertian Spiritual

Secara etimologi kata “sprit” berasal dari kata Latin “spiritus”, yang diantaranya berarti “roh, jiwa, sukma, kesadaran diri, wujud tak berbadan, nafas hidup, nyawa hidup.” Dalam perkembangan selanjutnya kata spirit diartikan secara lebih luas lagi. ).[1]. Spirit memberikan arti penting ke hal apa saja yang sekiranya menjadi pusat dari seluruh aspek kehidupan seseorang. Spirit memberikan arti penting ke hal apa saja yang sekiranya menjadi pusat dari seluruh aspek kehidupan seseorang.  Spiritual adalah suatu yang dipengaruhi oleh budaya, perkembangan, pengalaman hidup kepercayaan dan nilai kehidupan. Para filosuf, mengonotasian “spirit” dengan (1) kekuatan yang menganimasi dan memberi energi pada cosmos, (2) kesadaran yang berkaitan dengan kemampuan, keinginan, dan intelegensi, (3) makhluk immaterial, (4) wujud ideal akal pikiran (intelektualitas, rasionalitas, moralitas, kesucian atau keilahian).[2]

 Spiritualitas mampu menghadirkan cinta, kepercayaan, dan harapan, melihat arti dari kehidupan dan memelihara hubungan dengan sesama.  Spiritual adalah konsep yang unik pada masing-masing individu (Farran et al, 1989). Masing-masing individu memiliki definisi yang berbeda mengenai spiritual hal ini dipengaruhi oleh budaya, perkembangan, pengalaman hidup dan ide-ide mereka sendiri tentang hidup.

 Menurut Emblen, 1992 spiritual sangat sulit untuk didefinisikan. Kata-kata yang digunakan untuk menjabarkan  spiritual termasuk makna, transenden, harapan, cinta, kualitas, hubungan dan eksistensi.  Spiritual menghubungkan antara intrapersonal (hubungan dengan diri sendiri), interpersonal (hubungan antara diri sendiri dan orang lain), dan transpersonal (hubungan antara diri sendiri dengan tuhan/kekuatan gaib). Spiritual  adalah suatu kepercayaan dalam hubungan antar manusia dengan beberapa kekuatan diatasnya, kreatif, kemuliaan atau sumber energi serta  spiritual juga merupakan pencarian arti dalam kehidupan dan pengembangan dari nilai-nilai dan sistem kepercayaan seseorang yang mana akan terjadi konflik bila pemahamannya dibatasi. (Hanafi, djuariah. 2005).

  Sementara itu, Allama Mirsa Ali Al-Qadhi dikutip dalam bukunya Dr. H. M. Ruslan, MA mengatakan bahwa spiritualitas adalah tahapan perjalanan batin seorang manusiauntuk mencari dunia yang lebih tinggi dengan bantuan riyadahat dan berbagai amalan pengekangan diri sehingga perhatiannya tidak berpaling dari Allah, semata-mata untuk mencapai puncak kebahagiaan abadi.[3]

Selain itu, dikutip pada buku yang sama, Sayyed Hosseein Nash salah seorang spiritualis Islam mendefinisikan spiritual sebagai sesuatu yang mengacu pada apa yang terkait dengan dunia ruh, dekat dengan Ilahi, mengandung kebatinan dan interioritas yang disamakan dengan yang hakiki.[4]

Spiritualitas menurut Ibn ‘Arabi adalah pengerahan segenap potensi rohaniyah dalam diri manusia yang harus tunduk pada ketentuan syar’I dalam melihat segala macam bentuk realitas baik dalam dunia empiris maupun dalam dunia kebatinan.

  1. Aspek spiritualitas

Kebutuhan spiritual adalah harmonisasi dimensi kehidupan. Dimensi   ini   termasuk   menemukan   arti,   tujuan,   menderita,   dan kematian;   kebutuhan   akan   harapan   dan   keyakinan   hidup,   dan kebutuhan akan keyakinan pada diri sendiri, dan Tuhan. Ada 5 dasar kebutuhan spiritual manusia   yaitu: arti dan tujuan hidup, perasaan misteri, pengabdian, rasa percaya dan harapan di waktu kesusahan (Hawari, 2002).

Menurut Burkhardt (dalam Hamid, 2000) spiritualitas meliputi aspek sebagai berikut:

  1. Berhubungan dengan sesuatau yang tidak diketahui atau ketidakpastian dalam kehidupan.
  2. Menemukan arti dan tujuan hidup.
  3. Menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan dalam diri sendiri.
  4. Mempunyai perasaan keterikatan dengan diri sendiri dan dengan yang maha tinggi.
  5.  Dimensi spiritual

Dimensi  spiritual  berupaya  untuk  mempertahankan keharmonisan atau keselarasan dengan dunia luar, berjuang untuk menjawab  atau  mendapatkan  kekuatan  ketika  sedang  menghadapi stress emosional, penyakit fisik, atau kematian. Dimensi spiritual juga dapat  menumbuhkan  kekuatan  yang timbul diluar kekuatan  manusia (Kozier, 2004).

Spiritualitas sebagai suatu yang multidimensi, yaitu dimensi eksistensial  dan dimensi  agama,  Dimensi  eksistensial  berfokus  pada tujuan dan arti kehidupan,  sedangkan  dimensi agama lebih berfokus pada hubungan seseorang dengan Tuhan Yang Maha Penguasa. Spirituaiitas sebagai konsep dua dimensi. Dimensi vertikal adalah hubungan dengan Tuhan atau Yang Maha Tinggi yang menuntun kehidupan seseorang, sedangkan dimensi horizontal adalah hubungan seseorang   dengan   diri   sendiri,   dengan   orang   lain   dan   dengan lingkungan. Terdapat hubungan yang terus menerus antara dua dimensi tersebut (Hawari, 2002).

  1. Kebutuhan spiritual

Kebutuhan spiritual adalah kebutuhan untuk mempertahankan atau mengembalikan   keyakinan   dan   rnemenuhi   kewajiban   agama     serta kebutuhan   untuk   mendapatkan   maaf   atau   pengampunan,   mencintai, menjalin hubungan penuh rasa percaya dengan Tuhan. Kebutuhan spiritual adalah   kebutuhan   mencari   arti   dan   tujuan   hidup,   kebutuhan   untuk mencintai  dan  dicintai,  serta  kebutuhan  untuk  memberikan  dan mendapatkan maaf (Kozier, 2004).

Menginventarisasi   10  butir  kebutuhan   dasar  spiritual  manusia (Clinebell dalam Hawari, 2002), yaitu :

  1. Kebutuhan akan kepercayaan dasar (basic trust), kebutuhan ini secara terus-menerus  diulang  guna  membangkitkan  kesadaran  bahwa  hidup ini adalah ibadah.
  2. Kebutuhan  akan  makna  dan  tujuan  hidup,  kebutuhan  untuk menemukan  makna hidup dalam membangun  hubungan yang selaras dengan  Tuhannya  (vertikal)  dan  sesama  manusia  (horisontat)  serta alam sekitaraya
  3. Kebutuhan akan komitmen peribadatan dan hubungannya dengan keseharian,  pengalaman  agama  integratif  antara  ritual  peribadatan dengan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari.
  4. Kebutuhan  akan  pengisian  keimanan  dengan  secara  teratur mengadakan hubungan dengan Tuhan, tujuannya agar keimanan seseorang tidak melemah.
  5. Kebutuhan akan bebas dari rasa bersalah dan dosa. rasa bersaiah dan berdosa  ini merupakan  beban  mental  bagi seseorang  dan tidak  baik bagi kesehatan jiwa seseorang. Kebutuhan ini mencakup dua hal yaitu pertama   secara   vertikal   adalah   kebutuhan   akan   bebas   dari   rasa bersalah,  dan  berdosa  kepada  Tuhan.  Kedua  secara  horisontal  yaitu bebas dari rasa bersalah kepada orang lain
  6. Kebutuhan akan penerimaan diri dan harga diri {self acceptance dan self esteem), setiap orang ingin dihargai, diterima, dan diakui oleh lingkungannya.
  7. Kebutuhan   akan   rasa   aman,   terjamin   dan   keselamatan   terhadap harapan masa depan. Bagi orang beriman hidup ini ada dua tahap yaitu jangka pendek (hidup di dunia) dan jangka panjang (hidup di akhirat). Hidup di dunia sifatnya sementara yang merupakan persiapan bagi kehidupan yang kekal di akhirat nanti.
  8. Kebutuhan  akan dicapainya  derajat dan martabat  yang makin tinggi sebagai pribadi yang utuh. Di hadapan Tuhan, derajat atau kedudukan manusia   didasarkan   pada   tingkat   keimanan   seseorang.   Apabila seseorang ingin agar derajatnya lebih tinggi dihadapan Tuhan maka dia senantiasa menjaga dan meningkatkan keimanannya.
  9. Kebutuhan  akan  terpeliharanya  interaksi  dengan  alam  dan  sesama manusia. Manusia hidup saling bergantung satu sama lain. Oleh karena itu, hubungan  dengan  orang disekitarnya  senantiasa  dijaga. Manusia juga tidak dapat dipisahkan dari lingkungan  alamnya sebagai tempat hidupnya.  Oleh  karena  itu  manusia  mempunyai   kewajiban  untuk menjaga dan melestarikan alam ini.
  10. Kebutuhan  akan kehidupan  bermasyarakat  yang penuh dengan nilai- nilai religius. Komunitas keagamaan diperlukan oleh seseorang dengan sering  berkumpul    dengan    orang    yang   beriman    akan    mampu meningkatkan iman orang tersebut.
  1. Penjelasan Al-Qur’an tentang spiritual

Sebagaimana disebutkan bahwa ranah spiritual esensinya bukanlah materi atau jasadiah akan tetapi ia merupakan konsep metafisika yang pengkajiannya melalui pendalaman kejiwaan yang seringkali disandarkan pada wilayah agama. Islam sebagai salah satu agama yang diturunkan oleh Allah SWT juga tidak terlepas dari ajaran spiritual yang melambangkan kesalahenan pribadi seorang muslim.

Dalam hal ini, Allah SWT menjelaskan dalam surat Asy-Syams ayat 7-10 sebagai berikut:

وَنَفْسٍ وَمَاسَوَّاهَا . فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا . قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا ) وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا

“Demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)nya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (perilaku) kejahatan dan ketakwaannya. Sungguh beruntung orang yang menyucikannya, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.” (Qs. asy-Syams/91: 7-10).[5]

Pada ayat di atas, setelah bersumpah dengan matahari, bulan, siang, malam, langit, dan bumi, Allah bersumpah atas nama jati diri/jiwa manusia dan penciptaannya yang sempurna. Lalu Allah mengilhamkan kefasikan dan ketakwaan ke dalam jiwa/diri manusia.

Al-Qurthubi mengatakan bahwa sebagian ulama mengartikan kata ‘nafs’ sebagai Nabi Adam, namun sebagian yang lain mengartikannya secara umum, yaitu jati diri manusia itu sendiri.[6]

Menurut Ibn ‘Asyur, kata ‘nafs’ dalam ayat berbentuk nakirah (tanpa alif lam ta‘rif), ini menunjukkan nama jenis, sehingga mencakup jati diri seluruh manusia. Hal ini senada dengan penggunaan kata yang sama secara nakirah dalam ayat 5 surat al-Infithar:

عَلِمَتْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ وَأَخَّرَتْ (الانفطار [82]: 5)

Maka tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakan dan yang dilalaikannya. (Q. S. al-Infithar [82]:[7]

Oleh karena itu kata ‘wa ma sawwaha’ mengandung penjelasan bahwa Allah menciptakan diri setiap manusia dalam kondisi yang sama, tidak berbeda antar satu dengan lainnya. Sebab kesempurnaan bentuk manusia (taswiyyah) tercapai setelah proses pembentukan janin sempurna, yaitu pada awal masa kanak-kanak.

Karena taswiyyah merupakan pembentukan fisik manusia, penyiapan kemampuan motorik, dan intelektual. Seiring pertumbuhannya, potensi dalam diri manusia meningkat sehingga ia siap menerima ilham dari Allah.

Kata ilham sebagaimana pengertian dalam ayat tidak dikenal di kalangan orang Arab sebelum Islam, sehingga penjelasan untuk kata ilham tidak bisa dicari dalam syair-syair Arab kuno. Tidak diketahui kapan pertama kali kata ini muncul, namun diyakini Alquran lah yang menghidupkan kata ini, sebab ia adalah kata yang mendalam dan mengandung makna kejiwaan. Menurut Ibn Asyur, kata ilham diambil dari kata “allahm“ yang berarti tegukan dalam sekali gerak.

Secara terminologis, kata ilham digunakan untuk menyatakan konsep keilmuan tertentu di kalangan para ahli sufi. Ia diartikan sebagai hadirnya pengetahuan dalam diri manusia tanpa harus melalui usaha belajar dan penalaran. Dengan kata lain, ini merupakan ilmu yang tidak berdasar dalil, yaitu ilmu yang hadir seumpama insting bagi manusia. Bandingannya, seperti hadirnya pengetahuan pada seseorang agar segera menghindar saat berhadapan dengan hal yang tidak baik baginya.

Dengan pengertian seperti di atas, Ibn Abbas menafsirkan kata “fa alhamaha fujuraha wa taqwaha,” bahwa Allah mengajarkan manusia (‘arrafaha) tentang jalan fasik, dan jalan takwa. Tidak jauh berbeda, Mujahid juga menafsirkan kataalhamaha sebagai ‘arrafaha; bahwa Allah memperkenalkan jalan taat dan jalan maksiat bagi manusia. Penafsiran serupa juga dinyatakan oleh al-Farra’, namun ada juga ulama yang melakukan penafsiran berbeda.[8]

Tanpa pengilhaman kedua hal itu, akal tidak akan mampu memahami apa itu fasik dan takwa, demikian pula manusia tidak akan mampu memahami apa itu dosa dan pahala. Hal ini lah yang mempertautkan pernyataan ayat 8 dengan konsekuensinya dalam ayat 9 dan 10.

Redaksi dan munasabah menunjukkan bahwa kedua ayat ini merupakan kesatuan dengan ayat sebelumnya, jadi tidak bisa ditafsirkan secara terpenggal. Logika yang terbangun; setelah Allah menjelaskan adanya pengilhaman fujur dan taqwa dalam diri manusia, lalu Allah menyatakan

konsekuensinya: “Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”

Logika ini cukup relevan dengan redaksi ayat, sebab ayat 8 menggunakan waw‘athaf yang berarti fujur dan taqwa sama-sama diilhamkan dalam jiwa manusia, maka pernyataan dalam ayat 9 dan 10 menunjukkan akibat dari fujur dan taqwa itu. Dari itu manusia patut disifatkan sebagai orang yang beruntung atau rugi, karena ia sendiri yang memilih untuk menyucikan, atau mengotori jiwanya. Sebab sebelumnya ia telah diberi ilham sehingga dapat membedakan antara fujur dantaqwa, bahkan para nabi pun telah diutus untuk memberinya pengajaran.

Ayat-ayat diatas menyatakan bahwa dalam penciptaannya (jiwa) itu Allah telah mengilhamkan jalan kefasikan dan ketaqwaan kepadanya. Beruntunglah bagi orang yang mau menjaga dan membina untuk kesucian jiwanya dan rugilah orang yang tidak mau menjaga dan membina jiwanya, membiarkan dan mengotorinya. Jalan untuk menjaga dan membina jiwa banyak tantangan dan godaan, sedangkan jalan untuk mengotorinyaq mudah dan tanpa perjuangan.

Menjaga dan membina jiwa hanya dapat dengan tunduk kepada semua aturan Allah, beribadah kepada-Nya, selalu ingat dan bertaqarrub kepada-Nya, melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Dengan itulah jiwa terbina membentuk pribadi yang teguh memegang kebenaran dan keadilan untuk mencapai kesempurnaan hidup, kebahagiaan di dunia dan akhirat kelak, Insya Allah. Jiwa inilah yang akan mencapai ketenangan dan ketentraman dan jiwa inilah yang akan mendapatkan penghormatan yang tinggi dan agung mendapatkan panggilan yang penuh rindu dan kasih sayang-Nya. Seperti yang difirmankan Allah dalam QS.Al-Fajr: 27-30:

يأيتها النفس المطمئنة (27) ارجعى إلى ربك راضية مرضية) 28( فادخلى فى عبادى (29) فادخلى جنتى )30(

‘Wahai jiwa-jiwa yang tenang (27), kembalilah kepada Tuhanmu dengan rela dan diridlai (28), masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku (29), masuklah ke dalam sorga-Ku (30)’. [Q. S. al-Fajr, 89: 27-30].

Jiwa inilah yang diseru oleh ayat ini:

“Wahai jiwa yang telah mencapai ketentraman.” (ayat 27). Yang telah menyerah penuh dan tawakkal kepada Tuhannya: Telah tenang, karena telah mencapai yakin: terhadap Tuhan.

Berkata Ibnu ‘Atha’: “Yaitu jiwa yang telah mencapai ma’rifat sehingga tak sabar lagi bercerai dari Tuhannya walau sekejap mata.” Tuhan itu senantiasa ada dalam ingatannya.[9]

Berkata Hasan Al-Bashri tentang muthmainnah ini: “Apabila Tuhan Allah berkehendak mengambil nyawa hamba-Nya yang beriman, tenteramlah jiwanya terhadap Allah, dan tenteram pula Allah terhadapnya.”[10]

Berkata sahabat Rasulullah SAW ‘Amr bin Al-‘Ash (Hadis mauquf): “Apabila seorang hamba yang beriman akan meninggal, diutus Tuhan kepadanya dua orang malaikat, dan dikirim beserta keduanya suatu bingkisan dari dalam syurga. Lalu kedua malaikat itu menyampaikan katanya: “Keluarlah, wahai jiwa yang telah mencapai keternteramannya, dengan ridha dan diridhai Allah. Keluarlah kepada Roh dan Raihan. Tuhan senang kepadamu, Tuhan tidak marah kepadamu.” Maka keluarlah Roh itu, lebih harum dari kasturi.”

“Kembalilah kepada Tuhanmu, dalam keadaan ridha dan diridhai.” (ayat 28). Artinya: setelah payah engkau dalam perjuangan hidup di dunia yang fana, sekarang pulanglah engkau kembali kepada Tuhanmu, dalam perasaan sangat lega karena ridha; dan Tuhan pun ridha, karena telah menyaksikan sendiri kepatuhanmu kepada_nya dan tak pernah mengeluh.

“Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku.” (ayat 29). Di sana telah menunggu hamba-hamba-Ku yang lain, yang sama taraf perjuangan hidup mereka dengan kamu; bersama-sama di tempat yang tinggi dan mulia. Bersama para Nabi, para Rasul, para shadiqqin dan syuhadaa. “Wa hasuna ulaa-ika rafiiqa”; Itulah semuanya yang sebaik-baik teman.

“Dan masuklah ke dalam syurga-Ku.” (ayat 30). Di situlah kamu berlepas menerima cucuran nikmat yang tiadakan putus-putus daripada Tuhan; Nikmat yang belum pernah mata melihatnya, belum pernah telinga mendengarnya, dan lebih daripada apa yang dapat dikhayalkan oleh hati manusia. Dan ada pula satu penafsiran yang lain dari yang lain; yaitu annafs diartikan dengan roh manusia, dan rabbiki diartikan tubuh tempat roh itu dahulunya bersarang. Maka diartikannya ayat ini: “Wahai Roh yang telah mencapai tenteram, kembalilah kamu kepada tubuhmu yang dahulu telah kamu tinggalkan ketika maut memanggil,” sebagai pemberitahu bahwa di hari kiamat nyawa dikembalikan ke tubuhnya yang asli. Penafsiran ini didasarkan kepada qiraat (bacaan) Ibnu Abbas, Fii ‘Abdii dan qiraat umum Fii “Ibaadil.

Begitu pula firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

فَلاَ تُزَكُّوا أَنفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى

“Maka, janganlah kamu menganggap dirimu suci. Allah lebih mengetahui tentang siapa yang bertakwa.” (Qs. an-Najm/53: 32).

Serta firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

وَسَيُجَنَّبُهَا اْلأَتْقَى . الَّذِي يُؤْتِي مَالَهُ يَتَزَكَّى

“Dan orang yang paling bertakwa akan dijauhkan dari api neraka, yaitu orang yang menginfakkan hartanya serta menyucikan dirinya.” (Qs. al-Lail/92: 17-18).

Kedua ayat ini menjelaskan bahwa pembersihan jiwa pada hakikatnya adalah ketakwaan kepada Allah. Dan memang tujuannya adalah ketakwaan kepada Allah.

Di sini perlu juga dipahami dengan baik sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallamberikut,

اَللَّهُمَّ آتِ نَفْسِي تَقْوَاهَا، وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا. رواه مسلم

“Ya Allah! Anugerahkanlah ketakwaan pada jiwaku, bersihkanlah ia, Engkau adalah sebaik-baik yang membersihkan jiwa. Engkaulah Penguasa dan Pemiliknya.” (HR. Muslim).

PEMBAHASAN

SPIRITUAL DALAM PANDANGAN ISLAM

Manusia memang memiliki ruh dalam arti nyawa. Namun pada faktanya, dalam diri manusia tidak ada dua unsur pembentuk yang menarik manusia kepada dua kecenderungan yang berbeda, yakni unsur jasad menarik kearah pemenuhan kepentingan duniawi dan unsur jiwa/roh yang menarik kepada pemenuhan kepentingan ukhrowi (moral dan ritual). Kenyataannya, semua perbuatan manusia dipengaruhi oleh dorongan kebutuhan-kebutuhan fisik (al-hajatul ‘udlwiyah) dan naluriah (al-ghoro’iz). Kebutuhan fisik contohnya adalah kebutuhan untuk makan, minum, buang hajat dan tidur; sedangkan kebutuhan naluri contohnya adalah naluri untuk melestarikan jenis manusia (ghorizatun nau’), naluri untuk mempertahankan diri (ghorizatul baqo’), dan kebutuhan untuk mensucikan dan mengagungkan dzat yang lebih agung dan sempurna (ghorizatut tadayyun).

Eksistensi ruh dalam diri seorang muslim menuntutnya untuk selalu mengendalikan seluruh perbuatan yang ia lakukan dengan hukum-hukum syara’. Maka selama ruh itu ada dalam benaknya, seorang muslim –kemanapun dia pergi- akan selalu berjalan di atas hukum syara’ laksana kereta api yang selalu berjalan di atas relnya. Kehadiran ruh tersebut mendorong seorang muslim untuk melaksanakan sholat, haji, puasa dan aktivitas ritual lain sesuai dengan hukum syara’..

Atas dasar itu, ruh tidak hanya hadir di tempat-tempat sujud, tidak hanya hadir di sekitar Ka’bah, tidak hanya hadir di masjid-masjid, namun ia juga hadir di pasar-pasar, di kantor-kantor, bahkan di kamar kecil sekali pun. Aktivitas spiritual umat Islam tidak hanya dimanifestasikan dalam sholat, puasa, haji dan dzikir, namun spiritualitas dan kedekatan dengan Allah juga teraktualisasikan dalam bisnis, pekerjaan, pergaulan, hukum, politik-pemerintahan bahkan juga terwujud dalam hubungan suami-istri. Umat Islam sepenuhnya hidup dalam dimensi spiritual sekaligus menjalani kehidupan yang serba material. Inilah falsafah kehidupan dalam Islam, yakni penyatuan antara materi dengan ruh. Yang demikian itu terjadi tatkala semua aktivitas manusia dijalankan dengan hukum-hukum syara’ atas dasar kesadaran akan hubungan mereka dengan Allah.

Menurut Islam, kebutuhan-kebutuhan fisik dan naluriah tersebut merupakan sesuatu yang alami dan netral, tidak bisa dengan sendirinya dikatakan bahwa kebutuhan yang satu lebih tinggi derajatnya dari kebutuhan yang lain. Justru cara manusia dalam mengatur dan memuaskan kebutuhan-kebutuhan itulah yang dapat diberi predikat terpuji atau tercela. Dalam pandangan Islam, jika kebutuhan-kebutuhan tersebut dipenuhi dengan perbuatan yang dijalankan sesuai petunjuk Islam, maka ia akan menjadi perbuatan yang terpuji. Sebaliknya, jika kebutuhan-kebutuhan tersebut dipenuhi dengan perbuatan yang melanggar tuntunan Islam maka ia menjadi perbuatan yang tercela. Kebutuhan akan seks, misalnya, jika dipenuhi dengan berzina maka menjadi suatu hal yang tercela, namun jika dipenuhi dalam bingkai pernikahan yang sah maka akan menjadi bagian dari ibadah yang terpuji. Naluri alami untuk mensucikan dzat yang lebih agung yang mendorong aktivitas ritual keagamaan –yang sering dianggap sebagai aktivitas ruhaniyah itu- jika dijalankan tanpa petunjuk Islam maka akan menjadi bid’ah yang tercela, namun jika dijalankan berdasarkan petunjuk Al Qur’an dan As Sunnah maka akan menjadi ibadah yang terpuji, berpahala dan diridhoi oleh Allah.

Lantas apa yang mengarahkan manusia kepada aktivitas pemenuhan kebutuhan yang diridhoi oleh Allah? Inilah yang menjadi misteri bagi kebanyakan orang. Mereka merasakan kehadirannya, tapi tidak mampu mengidentifikasi hakekat dari sesuatu yang mendorongnya untuk taat kepada Allah itu. Sebagian orang menyangka bahwa faktor yang mendorong manusia untuk taat kepada Allah itu adalah roh atau jiwa yang bersemayam di dalam badannya. Sebab jiwa/roh merupakan kekuatan suci dan positif yang menarik manusia untuk mengorbit kepada kepentingan ukhrowi. Anggapan ini sepenuhnya merupakan khayalan yang tidak bisa dibuktikan.

Sebenarnya, sesuatu yang mendorong manusia untuk cenderung melakukan perbuatan terpuji dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya bukanlah  unsur halus yang bersemayam dalam diri manusia. Dorongan itu sebenarnya berasal dari kesadaran yang ia miliki akan hubungannya dengan Allah Ta’ala (al idrok lishillatihi billah). Kesadaran bahwa Allah selalu mengawasi inilah yang membuat manusia taat kepadaNya. Ia –kesadaran tersebut- akan menguat tatkala mendengarkan nasehat yang sangat menyentuh, melihat fenomena yang menampakkan keagungan Allah, atau tatkala termotivasi oleh orang lain yang melaksanakan ibadah dengan lebih baik. Kesadaran itu pula yang melemah atau hilang tatkala manusia tergoda untuk melaksanakan maksiat atau meninggalkan suatu kewajiban. Kesadaran yang kadang menguat dan kadang pula melemah inilah sebenarnya yang mereka sebut dengan ruh. Disebut ruh karena –secara rancu- kesadaran ini dianggap sebagai salah satu unsur penyusun manusia, berupa jiwa yang bersemayam di dalam diri manusia. Padahal, keberadaan ruh yang berarti kesadaran itu jelas bukan merupakan unsur penyusun manusia melainkan hasil  prestasi manusia dalam memahami, menyadari dan memunculkan kesadaran bahwa dirinya selalu diawasi dan dinilai oleh Allah.

Eksistensi ruh dalam diri seorang muslim menuntutnya untuk selalu mengendalikan seluruh perbuatan yang ia lakukan dengan hukum-hukum syara’. Maka selama ruh itu ada dalam benaknya, seorang muslim –kemanapun dia pergi- akan selalu berjalan di atas hukum syara’ laksana kereta api yang selalu berjalan di atas relnya. Kehadiran ruh tersebut mendorong seorang muslim untuk melaksanakan sholat, haji, puasa dan aktivitas ritual lain sesuai dengan hukum syara’. Hadirnya ruh juga mendorong manusia untuk melaksanakan bisnis, jual-beli, hutang-piutang, bekerja, bergaul, berumah-tangga, sampai menata pemerintahan menggunakan hukum syara’.

Atas dasar itu, ruh tidak hanya hadir di sekitar Ka’bah, tidak hanya hadir di masjid-masjid, namun ia juga hadir di pasar-pasar, di kantor-kantor, bahkan di kamar kecil sekali pun. Aktivitas spiritual umat Islam tidak hanya dimanifestasikan dalam sholat, puasa, haji dan dzikir, namun spiritualitas dan kedekatan dengan Allah juga teraktualisasikan dalam bisnis, pekerjaan, pergaulan, hukum, politik-pemerintahan bahkan juga terwujud dalam hubungan suami-istri. Umat Islam sepenuhnya hidup dalam dimensi spiritual sekaligus menjalani kehidupan yang serba material. Inilah falsafah kehidupan dalam Islam, yakni penyatuan antara materi dengan ruh. Yang demikian itu terjadi tatkala semua aktivitas manusia dijalankan dengan hukum-hukum syara’ atas dasar kesadaran akan hubungan mereka dengan Allah.

Nilai-nilai spiritual didalam Islam tidak dapat diukur dengan tingkat keaktivan seseorang dalam menjalankan ibadah atau menghadiri kegiatan-kegiatan keagamaan. Hal tersebut merupakan salah satu media dan bagian kecil dari spiritual sesungguhnya. Karena pencapaian spiritual didalam Islam melibatkan seluruh dimensi dalam diri manusia, yaitu, hati, akal, dan fikiran. Sehingga didalam menjalankan kehidupan manusia dapat melepaskan diri dari hal-hal yang menyangkut humanisme dan berpijak terhadap nilai-nilai ilahiah (segala sesuatu yang datangnya dari Allah). Penafian humanisme dalam kehidupan bukan berarti manusia tidak dapat mengembangkan berbagai potensi yang telah diberikan sang kholik. Aspek ini lebih kepada, bagaimana manusia lebih dapat memerankan nilai-niali ilahiah sebagai subjek (realitas universal). Sehingga tidak ada lagi subjektifitas yang muncul dari manusia baik dalam aspek ibadah ataupun sosial.

Dengan menyerahkan dan melandaskan segala sesuatu kepada nilai-nilai ilahiah, bukan berarti potensi manusia sebagai makhluk dengan berbagai kelebihan akan dimatikan. Karena dengan menjadikan nilai-nilai ilahiah sebagai sebuah pijakan, manusia akan diajak untuk lebih universal didalam menentukan berbagai hal yang menyangkut kehidupan. Karena sebagai sebuah agama, Islam tidak hanya agama yang mengatur tata cara beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Melainkan agama yang penuh dengan nilai-nilai social, politik bahkan agama yang mengajarkan bagaimana humanisme sesungguhnya.

Oleh karena itu manusia haru berpijak terhadap hal ini terlebih dahulu jika manusia tersebut ingin mendapatkan subtansi spiritual. Dimana seorang muslim tidak terjebak dalam perangkap tradisi, ritual, dan hal-hal lain yang bersangkutan dengan cara pandang diluar Islam. Karena nilai spiritual akan didapat apabila seorang muslim, telah memiliki suatu cara pandang yang benar, rujukan yang benar, dan metode yang benar didalam menjalankan syariat-syariat agama. Sebagaimana yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Proses perjalanan spiritual beliau tentunya tidak hanya ketika dirinya mendapatkan perintah sholat melalui Isra dan Mi’raj. Tetapi melainkan seluruh fase perjuangan beliau hingga tegaknya Islam.

Dengan demikian, sebenarnya dalam Islam tidak ada dikotomi antara urusan dunia dengan urusan akhirat. Pengawasan dan penilaian Allah atas seluruh amal perbuatan manusia yang membawa konsekuensi pahala dan siksa merupakan benang merah yang menghubungkan antara dunia dan akhirat. Semuanya adalah amalan dunia, namun semuanya akan membawa dampak di akhirat. Dr. Abdul Qodir ‘Audah menyatakan: “hukum-hukum Islam dengan segala jenis dan macamnya diturunkan untuk kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat. Oleh karena itu, setiap aktivitas duniawi selalu memiliki aspek ukhrowi. Maka aktivitas ibadah, sosial kemasyarakatan, persanksian, perundang-undangan atau pun kenegaraan semuanya memiliki pengaruh yang dapat dirasakan di dunia … akan tetapi, perbuatan yang memiliki pengaruh di dunia ini juga memiliki pengaruh lain di akhirat, yaitu pahala dan sanksi akhirat”.[11]

Inilah spiritualitas dalam Islam. Ia adalah spiritualitas yang membumi, menyatu dengan dinamika kehidupan manusia dalam kesehariannya. Kerohanian dalam Islam bukanlah dimensi yang berseberangan dengan kehidupan dunia. Bahkan, ruh -yang kenyataannya adalah kesadaran akan hubungan seorang muslim dengan Allah ini- harus dibawa ke mana pun seorang muslim itu pergi, dalam kondisi apapun, dan dalam menjalani aktivitas serta urusan apa pun. Inilah makna sejati dari dzikrullah (mengingat Allah), yakni sadar bahwa ia selalu diawasi oleh Allah dalam segenap gerak-geriknya sehingga mendorong seorang muslim untuk selalu hidup dengan syariat Islam tanpa lepas sedikit pun. Demikianlah cara orang-orang yang beriman untuk mentransendensikan seluruh aktivitas mereka di dunia dan “melayani” Allah dalam setiap urusan yang mereka kerjakan.

SPIRITUAL DALAM PANDANGAN ISLAM

Hanya saja karena tasawuf itu oleh Muhammadiyah dipandang mengadung stigma bid’ah, takhayul dan syirik, maka tasawuf secara formal tidak mendapatkan legitimasi dalam rumusan faham Muhamamdiyah..

Gerakan Muhammadiyah yang tajdid (pembaharuan) memang membawa resiko, yakni tergusurnya banyak trasdisi tasawuf yang menyebabkan kegersangan spiritual. Kergersangan itu terjadi karena pengaruh modernisme dalam Muhammadiyah.

Bila tasawuf itu memaknai dimensi batin ekspresi keberagaaman seorang muslim, maka kata atau ungkapan yang equivalen dengan tasawuf yang sering muncul dalam dokumen dan forum-forum Muhammadiyah adalah “ihsan” (dalam Kepribadian Muhammadiyah), “spritual” (dalam Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah butir ), serta “spritualitas” (dalam Manhaj Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam).

Sekalipun tasawuf menjadi tradisi yang telah lama berkembang dalam Islam, ada kesan bahwa tradisi itu tidak berkembang dalam Muhammadiyah.

Padahal sesungguhnya secara subtansial tradisi itu cukup kuat berkembang dalam bentuk tersendiri.

Bagi Muhammadiyah, tasawuf adalah identik dengan akhlaq (tasawuf akhlaqi), ihsan (berbuat sebak mungkin), atau tazkiyatunnafs (mensucikan jiwa).

Tasauf berasal dari kata shuf (whol). Disebut demikian karena konon dulu para sufi (ahli tasauf) biasanya berpakaian suf (bulu domba).

Dalam arti istilah tasauf biasanya disamakan dengan mistik, yaitu : satu sistema cara bagaimana orang ingin mencapai hubungan yang mesra dengan Tuhan Yang Maha Kekal dan Maha Sempurna.

1. Allama Mirsa Ali Al-Qadhi

Spiritualitas adalah tahapan perjalanan batin seorang manusia untuk mencari dunia yang lebih tinggi dengan bantuan riyadahat dan berbagai amalan pengekangan diri sehingga perhatiannya tidak berpaling dari Allah, semata-mata untuk mencapai puncak kebahagiaan abadi.

2. Sayyed Hosseein Nash

Spiritual sebagai sesuatu yang mengacu pada apa yang terkait dengan dunia ruh, dekat dengan Ilahi, mengandung kebatinan dan interioritas yang disamakan dengan yang hakiki.

Dalam Muhammadiyah, tasawuf :

1. Tasauf bukanlah bagian integral daripada Agama Islam, dengan alasan :

a. Tidak satu pun kata sufi dan tasauf terdapat dalam nash Al-Quran dan Sunnah Rasul-Nya.

b. Dalam terminologi Tasauf orang Islam tidak mengenal istilah-istilah Syari’at, Thariqat, Haqiqat dan Ma’rifat menurut penafsiran para sufi, yang sama sekali tidak kita dapati dasarnya yang kukuh dalam al-Quran dan as-Sunnah.

2. Tasauf sebagai interprestasi sufi Muslim sebagian besar banyak yang menyimpang dari ajaran Islam, baik dalam bidang Akidah, maupun dalam bidang Ibadah ataupun dalam bidang Akhlak.

3. Sepanjang penyaksian sejarah lemah dan mundurnya Ummat Islam, disebabkan karena ajaran Tasauf yang pesat dan menyesatkan itu.

Menurut Burkhardt (1993) spiritualitas meliputi aspek-aspek :

1. Berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui atau ketidakpastian dalam kehidupan.

2. Menemukan arti dan tujuan hidup.

3. Menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan dalam diri sendiri.

 

DAFTAR PUSTAKA

An-Nawawi. Shahih Muslim Syarh an-Nawawi. tahqiq: Khalil Ma’mun Syiha. Dar al-Ma’rifah. cet. III. 1417 H/1996 M. XVII/43.

Ruslan.H.M. 2008. Menyingkap rahasia spiritualitas Ibnu ‘Arabi.  Cet.I; Makassar:Al-Zikra.

Departemen Agama RI.2010.  Mushaf Al-Qur’an dan terjemahannya. Solo; Al-Qomari.

Abdul Qodir ‘Audah.1985. Al Islam baina Jahli Abna’ihi wa ‘Ajzi ‘Ulama’ihi .tt: al Itihad al Islami al ‘Alami lil Munadhomat ath thulabiyah.

Abdul Hamid Mursi. 1997. Sumber Daya Manusia yang Produktif Pendekatan AlQur’an & Sains.Jakarta: Gema Insani Press.

Qadir Abdulallah. 1985. Al Islam baina Jahli Abna’ihi wa ‘Ajzi ‘Ulama’ihi tt: al Itihad al Islami al ‘Alami lil Munadhomat ath thulabiyah.

Internet:

https://insanrabbanifoundation.wordpress.com/2013/03/20/substansi-spiritual-dalam-islam/

Http://Sulaiman.Blogdetik.Com/Category/Spiritual/

mulyadinurdin.wordpress.com/2012/04/19/demi-jiwa-penafsiran-ayat-7-10 surat-al-syams/

tafsir.cahcepu.com/alfajr/al-fajr-27-30/

 

 

 

Profile gua saat ini

Hi Guys nama gua Khulafaurosya Rafialauddi Alfianto.Biasanya gua dipanggil rafi sama temen-temen.Gua lahir di Kediri 27 Desember 1999.Hobi gua traveling ke penjuru indonesia dan balapan di sirkuit(bukan jalan raya).Makanan favorit gua  bebek goreng dan minumannya es teh manis.Super hero kesukaan gua Batman karena yaaa keren aja sih.Cita-cita gua jadi pengusaha sukses tapi HALAL.Impian gua saat ini bisa jadi youtuber yang memberikan konten-konten video menarik dan tentunya bermanfaat bagi orang banyak.

Exellence Majoring in industrial engineering

Teknik industri adalah ilmu teknik yang berkenaan dengan pengembangan,perbaikan implementasi dan evaluasi sistem integral dari manusia,pengetahuan,peralatan,energi dan materi.Ilmu ini menerapkan cara-cara analisis engineering terhadap produksi dan jasa.Profesi lulusan TI pada umumnya tidak spesifik dokter,akuntan atau pilot yang memang pendidikannya mengarahkan mahasiswa untuk berkarir dengan profesi demikian.Contoh bidang kerja lulusan TI diantaranya Job analysis,Quality control dll.Satu hal menarik yang dialami oleh lulusan TI adalah pada tahun pertama lulusan TI merasa mengeluh terhadap pekerjaannya karena tidak sesuai apa yang telah dipelajari.Jika kalian lebih bersabar dan berusaha keras 4-5 tahun yang akan datang kalian akan bisa mendapat jabatan yang pantas bagi seoramg lulusan TI diantaranya direktur utama,manajer dll

Pekembangan Teknologi masa kini yang kian canggih

Tidak heran pada zaman sekarang anak kecil sudah bisa mengoperasikan gadget dengan sangat baik bahkan bisa melebihi lansia.Kemajuan tekologi ini memiliki banyak dampak setelah pengunaanya,diantaranya dampak negatif dan dampak positif.Salah satu dampak negatif dari kemajuan teknologi ini adalah perjudian,sex,cyber crime,SARA,bullying dll yang mengakibatkan pengguna dapat masuk penjara atau dijauhi oleh masyarakat.Contoh dampak positifnya  adalah makin luas pengetahuan,membantu orang lain,mempermudah pekerjaan dll.Jika kita dapat mengambil manfaat dari dampak positif dari teknologi ini sangat beruntunglah kita yang dapat memajukan bangsa dan negara.

Bogor itu……

Walaupun gua lahir di Kediri gua bisa bahasa sunda sedikit-sedikit karena gua dari TK udah tinggal dan besar di Bogor.Bogor adalah salah satu kota yang berada di jawa barat.Makanan khas Bogor saat ini adalah lapis bogor yang hampir semua masyarakat di tanah jawa bahkan masyarakat indonesia mengetahui salah satu oleh-oleh khas bogor ini.Tempat wisata yang dimiliki oleh kota Bogor antara lain:kebun raya bogor,taman safari,taman bunga nusantara dll.Bogor juga mempunyai salah satu monumen yang bersejarah yang bernama Tugu Kujang yang tak kalah terkenalnya dengan Monas.